![]() |
E.S. I TT O |
Menghisap sebatang lisong, tetapi
kita tidak lagi bisa melihat Indonesia Raya dan tiada mampu lagi mendengar
suara dari 250 juta rakyat; sementara para cukong, dan bukan 2-3 orang lagi,
terus mengangkang berak di atas kepala mereka. Mas Willy, ini Lisong yang
berbeda tetapi dalam kemuraman yang sama. Anak-anak SLA masih terus mengobel
klentit ibu gurunya. Lulusan SLA semakin banyak yang tidak sanggup melanjutkan
pendidikan hingga perguruan tinggi. Sementara ilmu yang mereka dapatkan tidak
kunjung mampu memecahkan persoalan kehidupan. Kita masih terus membeli
rumus-rumus asing tanpa pernah bisa merumuskan keadaan dengan cara kita
sendiri. Inilah gambaran nyata dari persoalan serupa. Atas nama demokrasi, hak
azasi bisa dikurangi. Yang penting sekarang bukanlah, apakah pembangunan
berjalan sebagaimana rencananya tetapi apakah demokrasi sudah bisa meniru
tingkah polah Paman Sam sana. Maksud baik semakin dicurigai, Mas Willy. Dan
bila maksud baik itu terlaksana, orang akan bertanya; saudara bekerja untuk
siapa dan keuntungan macam apa yang saudara terima. Inilah yang lama dan baru
di jagad kehidupan Indonesia Raya, sama, serupa; hanya saja kita menghisap
lisong yang berbeda.
Tentara-tentara berwajah jelek telah digantikan polisi-polisi berperut gendut.
Tarifnya sama hanya penagihnya yang berbeda. Opsus telah berganti pengacara
haus kasus. Kerjanya sama, menisbikan kebenaran sehingga tanda tanya berubah
menjadi nominal angka. Cukong-cukong tidak lagi dari Amerika, Cina dan Jepang
tetapi seluruh dunia dan manusia Indonesia yang mampu mengeruk apa saja dengan
cara-cara buas. Dan tentu saja Mas Willy, semua itu tidak menjadi persoalan
sebab para penyair semakin sibuk dengan anggur dan rembulan. Kesenian sudah
pasti terlepas dari derita lingkungan. Televisi sudah membeli semuanya. Donor
asing, tentu atas nama penghargaan seni, telah membeli setiap kata yang keluar
dari mulut bisu. Kata-kata telah menjadi transaksi buta; perdagangan sampah
yang menjadi lazim karena setiap pengucap kata butuh nasi bungkus di onggokan
sampah kata-kata yang semakin meninggi. Ah Mas Willy, sekarang kau tidak lagi
bisa menyumpah. Tiada lagi jeri bagi pengkhianat kata yang bisa kau maki.
Tiba-tiba saja kehidupan jadi membosankan. Jenis pekerjaan semakin luas
beraneka rupa tetapi tujuannya menyempit. Yang terhormat di bumi Indonesia ini,
hanyalah bila kau bisa mengumpulkan uang banyak dengan cara apa saja sepanjang
tidak merugikan dirimu sendiri. Inilah yang lama dan baru di jagad kehidupan
Indonesia Raya, sama, serupa; hanya saja kita menghisap lisong yang berbeda.
Tidak akan ada lagi pamplet masa darurat. Sebab semuanya akan baik-baik saja,
bila kau bisa makan enak, berak lancar dan bila itu tidak cukup; beratus kelab
malam menunggumu, cukup pesan 2-3 pil ekstasi yang bebas dijual bandar, sisakan
satu pil untuk perempuan yang putus harapan dan jeri mu selesai sudah; kau
bebas bergoyang hingga bercinta di kamar mandi. Esok hari, makanmu mungkin
kurang enak tetapi yang pasti berak mu semakin lancar. Mas Willy, di masa
darurat ini pamplet-pamplet bebas beredar tetapi sayang tiada minat untuk
memasangnya. Ini bukan masa darurat, jelas, ini bukan masa darurat; kami
baik-baik saja, jauh lebih baik pada saat “meneken” pil ekstasi. Kami pemuda,
jelas kami harapan bangsa. Dan bangsa ini akan lebih berharap kepada para
pemuda yang bisa ngineks, ngiprit, nyimeng, nyabu dan jago nge*** sambil
merekamnya dalam format 3gp. Ah, bukankah kami ini terlihat hebat mas Willy?
Ayo di alam sana katakan, “Kalian adalah generasi yang hebat, oke punya. Kalian
adalah pewaris Sukarno-Hatta. Kalian bukan lagi tiga, tetapi berjuta menguak
takdir. Nasib kalian tidak akan seperti Paman Doblang!”. Tetapi tidak Mas
Willy, aku tahu, jauh di alam sana yang jaraknya berlapis ajal, kau akan
menangis untuk kami, “Kalian adalah generasi yang sakau akan teladan. Tanpa
bimbingan menghadapi ujian kehidupan. Kalian menghadapi satu jalan panjang,
tanpa pilihan, tanpa pepohonan, tanpa dangau persinggahan; tanpa ada bayangan
ujungnya”. Inilah kami mas Willy, berjujur kata ku berungkap, generasi yang
hilang ditelan oleh angan tidak berkesudahan. Kami telah mengganti Lisong
dengan Bong. Pagi harinya kami masih berkata, ayo serahkan masa depan bangsa
pada kami. Sungguh kurang ajar!
Ada yang datang, ada yang pergi. Tetapi di negeri ini, yang datang tidak
kunjung mampu menggantikan mereka yang pergi. Masa orang-orang besar telah
lewat, Mas Willy mungkin jadi penutupnya. Kehilangan itu pasti, tetapi
meneruskan semangat dan jiwamu itu yang semakin tidak pasti. Pada hari-hari
dimana hujan merontokkan tekad besar dalam jiwa yang kering berlapis kulit
legam; kami menari dalam sepi. Kesenian memang mulai terlepas dari derita
lingkungan. Sebab kata tidak lagi berharga bila dia tidak bisa dijual menjadi
nada yang enak di telinga. Pemikiran pun semakin terpisah dari masalah
kehidupan. Sebab pikiran hebat adalah pikiran yang bisa menciptakan transaksi,
mengedepankan angka-angka, menjadikan politik ilmu statistik dan tentu saja
memelihara penderitaan si melarat supaya sistem bisa berjalan sebagaimana
mestinya. Bila kini engkau telah pergi Mas Willy, kepada siapakah kami mengadu;
siapakah lagi yang bisa menghardik meja kekuasaan dan papan tulis yang macet?
Inilah yang lama dan baru di jagad kehidupan Indonesia Raya, sama, serupa;
hanya saja kita menghisap lisong yang berbeda. Dan inilah Lisong terakhir!
Mas Willy, dalam hari-hari berkabung yang semakin memanjang ini, ijinkan aku
mem-bakar-kan lisong terakhir ini untukmu. Dalam aroma tembakau yang merekah
ini aku bersumpah untuk terus memelihara amarah, bersekutu dengan yang lemah,
terus mencurigai kekuasaan dan memajang kembali “kata-kata” dalam pigura
kemanusiaan. Sebab kata-kata akan kembali memperoleh kehormatannya bila kita
semua percaya bahwa; kesadaran adalah matahari, kesabaran adalah bumi,
keberanian menjadi cakrawala dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata.
Selamat jalan Mas Willy.
07 Agustus 2009 jam 18:39
0 komentar:
Posting Komentar