Santi Permatasari |
Korupsi
dan Demokrasi adalah dua hal yang berbeda, tentu saja dalam pengertian dan
prakteknya. Namun terkadang Korupsi = Demokrasi dan Demokrasi = Korupsi. Miris
memang bila diperhatikan. Padahal bila dicermati dengan seksama, tingginya
korupsi mengakibatkan rendahnya nilai demokrasi. Inilah yang sedang terjadi di
negara kita. Bahkan berlaku di semua aspek kehidupan dan lebih anehnya lagi
kasus ini seolah-olah merupakan suatu pembiaran.
Sebut
saja pesta demokrasi. Yah, namanya juga pesta, pasti banyaklah dana yang mesti
dikeluarkan. Baik pemerintah maupun para kandidat. Nah, disini nih godaan
korupsi begitu besar. Mengapa tidak? Ada beberapa kandidat yang haus akan
jabatan, walau sadar akan ketidak mampuan dirinya, tetap memaksakan diri untuk
bisa memenangkan pertarungan, jalan pintas pun dipilih. Di sisi lain, ada
beberapa pengusaha nakal yang mensponsori kandidat tersebut dengan catatan bila
menang pemilihan timbal baliknya kemudahan penerimaan pengusulan dan pencairan
dana proyek. Di sisi lainnya lagi ada pihak pemerintah yang tidak bertanggung
jawab memakan/memakai dana yang mendukung jalannya pesta rakyat tersebut, yang
akhirnya menimbulkan pembengkakan dana pemilihan.
Banyak
yang bertanya-tanya kenapa hal ini bisa terjadi, atau kah karena korupsi bukan
berasal dari bahasa Indonesia sehingga para pelakunya tak sedikitpun yang
merasa malu and jerah???
Mari
kita tinjau!!!!
Korupsi berasal
dari bahasa Latin corruptio
dari kata kerja corrumpere
yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutar balik,
menyogok. Secara harfiah, korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik
politikus/politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak
legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan
menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka. Dalam arti
yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi
untuk keuntungan pribadi.
Korupsi
dalam arti luas, juga telah merambah ke dalam tubuh himpunan tercinta kita,
HmI. Contoh nyata yang dapat dilihat adalah pada momen konggres PB HMI. Para
kandidat tak tanggung-tanggung mengeluarkan dana, bukan bunyi ratusan ribu
rupiah lagi melainkan jutaan bahkan milyaran rupiah. Entah dari mana asal
uangnya, namun yang pasti praktek gratifikasi berjalan lancar. Bodohnya lagi
karena rupiah nilai-nilai yang tertuang dalam AD-ART HMI tak dihiraukan lagi
yang dipilih bukan berdasarkan hati nurani melainkan hitungan rupiah di
genggaman tangan. Mengapa justru bertentangan dengan arti ayat suci di atas?? Apakah
agama, didikan atau moral yang salah???
Dalam tatanan Negara kita, untuk mencari, merebut
dan mempertahankan kekuasaan (politik) tentu tidak bisa dipisahkan dengan
politik uang. Apalagi sistem pemilu/pemilukada yang langsung dengan jumlah
pemilih yang banyak. Artinya, bahwa semakin banyak pemilih tentunya ongkos
politik dan money politiknya berbanding lurus. Untuk memperoleh kekuasaan, orang
rela membayar berapapun biayanya. Tindakan ini harus diakui sangat bertentangan
dengan ide dasar demokrasi yaitu sebuah pilihan yang mandiri dan rasionalitas. Bila
pilihan masyarakat terkontaminasi karena pemberian uang dan materi lainnya,
maka ide demokratisasi pemilu akan gagal, dan yang dikhawatirkan adalah akan
terjadi korupsi yang massif yang dilakukan oleh pasangan calon terpilih juga
oleh masyarakat pemilihnya. Padahal jelas undang-undang yang diatur dalam UU
Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, Pasal 82 ayat (1) dan
pasal 117 ayat (2). Oleh karena itu aktivitas transaksi pembelian suara dalam
proses pemilihan harus kita hindari dan supremasi hukum harus ditegakkan.
Korupsi
menunjukkan tantangan serius terhadap pembangunan. Di dalam dunia politik,
korupsi mempersulit demokrasi dan tata pemerintahan yang baik (good
governance) dengan cara menghancurkan proses formal. Korupsi di pemilihan
umum dan di badan legislatif mengurangi akuntabilitas dan perwakilan di
pembentukan kebijaksanaan; korupsi di sistem pengadilan menghentikan ketertiban
hukum; dan korupsi di pemerintahan publik menghasilkan ketidak-seimbangan dalam
pelayanan masyarakat. Secara umum, korupsi mengkikis kemampuan institusi dari pemerintah,
karena pengabaian prosedur, penyedotan sumber daya, dan pejabat diangkat atau
dinaikan jabatan bukan karena prestasi. Pada saat yang bersamaan, korupsi
mempersulit legitimasi pemerintahan dan nilai demokrasi seperti kepercayaan dan
toleransi.
Sebagai generasi intelektual, mari kita kawal
bersama gerakan demokratisasi setiap momen pemilihan dengan menghindari gerakan
money politic, serangan fajar sampai serangan dhuha, intimidasi terhadap
pemilih, pendahuluan start kampanye dan kampanye negative. Semakin
mandiri dan rasionalitas pemilih dalam proses pemilihan, maka akan menjadikan
salah satu tolak ukur /indikator suksesnya pemilihan yang pada akhirnya
demokrasi pun terbilang sukses.
0 komentar:
Posting Komentar