Selamat Datang Diblog Orang Pinggiran

Translate

About Me

Pengikut

Search

Label

Rabu, 31 Oktober 2012

KEBERANIAN


Oleh: Habelino Seradora Sawaki, SH
Bersama Grup Diskusi Revolusi Biru

Tadi malam di Markas Besar GERAKAN MAHASISWA PAPUA INDONESIA (GMPI), tempat saya dan teman-teman biasa berkumpul, kami berdiskusi tentang sebuah topik yang cukup menarik, yakni KEBERANIAN.

Seorang adik bercerita, bahwa ia selalu mengikuti seminar-seminar tentang motivasi untuk sukses. Ia juga rajin membeli dan membaca buku tentang motivasi. Namun tetap saja ia tidak memiliki keberanian untuk mencoba sesuatu yang baru. Ia mengaku tidak memilikinya sama sekali.

Dari mana datangnya keberanian? Menurut saya keberanian ada didalam diri kita secara otomatis. Dibekali oleh Tuhan, sebagai naluri dan mekanisme untuk bertahan hidup. Anggap saja seperti sebuah sistim yang otomatis.

Coba amati fenomena penyu, yang hidup di laut dan ketika akan bertelur, justru menggali lubang di pantai dan bertelur di sana. Ketika bayi-bayi penyu itu menetas, dengan serta merta, dan penuh keberanian mereka berlomba-lomba menuju pantai dan langsung menantang samudra bebas. Langsung berenang dengan penuh keberanian. Padahal mereka belum mengenal samudra bebas sama sekali. Tanpa bimbingan ibu dan bapaknya. Semua keberanian itu seolah dijahitkan oleh Tuhan di dalam setiap sel kehidupan mereka.

Manusia juga sama dan serupa menurut saya. Lihat saja bayi-bayi yang baru berjalan. Mereka melakukannya dengan penuh keberanian. Tanpa takut jatuh sekalipun. Paling kalau jatuh mereka menangis dan bangkit kembali. Lalu belajar berjalan lagi. Begitu seterusnya. Sama seperti penyu, keberanian juga dijahitkan Tuhan di dalam setiap sel tubuh dan kehidupan kita.

Masalahnya, anda mungkin bertanya, kenapa kita bisa kehilangan keberanian? Kesalahan kita sendiri sebenarnya, ketika tanpa kita sadari kita mengajarkan kepada anak-anak atau adik-adik kita untuk menghilangkan keberanian itu. Perlahan, sistimatis, dan satu demi satu dihilangkan. Misalnya saja, kita mengajarkan rasa takut kepada anak/adik kita. “Awas, jangan naik-naik, nanti jatuh!” atau “Jangan ke tempat yang gelap, ada setan!”. Ketika anak/adik mengenal rasa takut, maka rasa takut itu perlahan-lahan menghapus keberanian miliknya sedikit demi sedikit.  

Bisa jadi seorang anak yang terperangkap cukup jauh dalam selimut ketakutan akan kehilangan keberaniannya dan berbalik menjadi penakut. Dan keberanian yang dijahitkan Tuhan pada kita lenyaplah sudah.

Lalu apa yang bisa kita lakukan untuk mengembalikan keberanian itu? Menurut saya, sederhana. Kita terpaksa harus belajar mengembalikan keberanian itu. Ingatlah bahwa sebuah perjalanan pendek, entah itu cuma 100 meter, atau perjalanan panjang, sampai 5 km, atau berapa pun panjangnya selalu dimulai dengan satu langkah awal. Pekerjaan kecil atau besar, akan selalu dimulai dengan keberanian yang sama untuk benar-benar melakukannya. Bukan sekedar mimpi. Bukan sekedar angan-angan belaka. Tapi satu langkah awal yang kecil.

Karena sejak kecil kita mulai mendapat pendidikan secara sistimatis, tentang rasa takut, resiko dan kegagalan, maka bisa jadi keberanian yang kita miliki menjadi susut. Dan untuk menghadirkannya perlu distimulasi dan dirangsang kembali. Cara terbaik adalah melatihnya secara naluri. Keberanian mutlak diperlukan untuk sukses dalam hidup ini. Bayangkan seorang pemimpin butuh keberanian setiap hari untuk membuat putusan dan tindakan. Tanpa keberanian seorang pemimpin akan tumpul dan mandul.
Seorang atlit butuh keberanian untuk menciptakan gerakan-gerakan spektakuler di lapangan agar bisa mengalahkan lawannya. Pengusaha butuh keberanian untuk berinovasi dan menciptakan daya saing yang lebih ampuh. Penyanyi dan musisi butuh keberanian untuk ber-improvisasi di panggung, agar sajian dan penampilan mereka memukau. Dan politisi juga butuh keberanian untuk hidup lurus, tidak tergoda korupsi. Biarpun di sekelilingnya semua orang rajin berkorupsi.

Hidup benar, jujur, dan adil, juga butuh keberanian. Jadi jangan heran apabila sebenarnya kita dilahirkan dengan bekal keberanian yang sangat cukup. Sayangnya kita sendiri yang perlahan-lahan menghapusnya sedikit demi sedikit. Menurut saya, kalau kita sudah mendapatkan pencerahan tentang keberanian ini, maka kita perlu melatihnya agar keberanian itu tampil utuh dalam kehidupan kita. Dimulai dengan disiplin yang sederhana. Misalnya jangan menunda-nunda dan mengulur sebuah keputusan. Semakin anda tegas dengan keputusan anda, tabungan keberanian anda akan semakin meningkat. Keberanian akan tumbuh secara alamiah dan menjadi alat kreatif di dalam hidup.

Keyakinan dan percaya diri, juga menumbuhkan keberanian. Seandainya kita meyakini kehidupan yang benar, jujur dan adil maka otomatis kita juga akan berani menghadapi segala macam godaan yang negatif. Keberanian menjadi terang hidup yang menerangi jalan di depan. Hal terbaik yang saya pelajari, adalah ketika keberanian mulai hadir dalam kehidupan kita, maka percaya atau tidak, kita benar-benar 100% mengemudikan hidup kita. Dan itu rasanya luar biasa. Keberanian menjadi sahabat terbaik kehidupan kita. Ketika keberanian memacu lalu kita rasakan adrenalin mengalir deras. Hidup menjadi petualangan yang terbaik.

POTRET BURAM PENDIDIKAN



Oleh: Syaifudin M. Sawaki Songyanan  

Peran pendidikan adalah untuk mendorong revolusi sosial. Masyarakat harus dipaksa berpikir. Tugas politis seorang dosen adalah mengajukan masalah dan memprovokasi pertentangan-pertentangan dalam pikiran para mahasiswa. Sebagai seorang dosen harus dikembangkan kultur mengajar yang baru dan berkobar.

Adakah dosen yang lebih menyukai mahasiswa yang mampu memberi buah pikiran yang independen dan reflektif? Bukankah mahasiswa yang tidak sependapat dengan dosen berdasarkan refleksinya sendiri adalah lebih berguna ketimbang mahasiswa yang sependapat dengan dosen tanpa refleksi?

Kampus telah jadi museum tempat banyak orang tua yang berkumpul dan saling memaksakan pendapatnya. Di sana buku yang ditulis kemudian dipaksakan untuk dibeli dan dibaca. Dosen-dosen muda hanya sibuk untuk sekolah kemudian mengajar dengan bait yang sama. Mereka hanya menjadi pengeras suara dari isi buku yang menjemukan dan banyak di antara mereka tak punya pandangan segar dan mengejutkan. Walau bacaan mereka kaya dan bermutu tetapi sedikit yang menguasai ilmu berpidato. Karena itu kuliah berjalan seperti mobil tua yang lamban jalannya: terseok-seok tanpa ada kegemparan. Kuliah yang tawar membuat kampus jadi tempat sunyi tanpa gairah. Perpustakaan sepi sedang kantin kampus penuh dan padat. Rasa lapar lebih didahulukan ketimbang kekurangan pengetahuan.

Itu yang membuat kampus hanya menjadi menara gading karena menyimpan mahluk-mahluk kerdil yang tidak terlalu antusias berpikir hal-hal besar. Sedang di luar sana masyarakat juga memandang kampus sebagai lingkungan para terpelajar elit yang sulit disentuh. Dengan biaya yang begitu mahal siapa yang bisa kuliah. Ujung dari pendidikan yang busuk ini hanya menghadirkan mahasiswa-mahasiswa penindas yang tak peduli akan kesulitan rakyat.

Hanya mereka yang berani menuntut haknya pantas diberikan keadilan. Kalau Mahasiswa Papua tidak berani menuntut hak-haknya, biarlah mereka ditindas sampai akhir zaman oleh dosen-dosen korup mereka.
Pendidikan tinggi bukan sekedar siraman informasi tapi bagaimana menanam benih karakter. Dan karakter tidak akan terbentuk tanpa pengenalan seorang pelajar akan masalah dan lingkungannya. Pangkal segala pendidikan karakter ialah cinta akan kebenaran dan berani mengatakan salah dalam menghadapi sesuatu yang tidak benar …… dalam memelihara dan memajukan ilmu, karakterlah yang terutama, bukan kecerdasan. Kurang kecerdasan dapat di isi, kurang karakter sukar memenuhinya.

Seorang intelektual, bukan saja giat mengunyah ilmu, tapi sanggup mengorbankan hidupnya untuk perubahan. Mengorbankan hidupnya untuk keabadian. Bukankah perubahan itu abadi?
Mengapakah kita percaya bahwa hanya dengan datang ke kampus kuliah dan pulang kita akan menjadi pribadi yang utuh? Jawabannya adalah ada hegemoni yang membungkam semua orang. Sayangnya hegemoni ini tidak hanya dikekalkan oleh mahasiswa sendiri tetapi lebih parah lagi oleh dosen. Mereka hanya berkata dalam nada yang terus diulang-ulang: jangan hanya datang ke kampus terus pulang. Mereka tidak bersikap. Mana diskusi-diskusi antar dosen yang dapat merembes ke dunia kemahasiswaan?
Mengapakah kita percaya bahwa perubahan itu tidak mungkin terjadi? Jawabannya adalah ada hegemoni.

Perubahan bukan hanya mungkin tetapi pasti. Bukankah perubahan adalah abadi? maka perubahan juga adalah kepastian?
Kesalahan intelektual terletak pada mempercayai bahwa seseorang dapat mengetahui tanpa merasakan……dengan kata lain bahwa seolah-olah seorang intelektual dapat menjadi intelektual jika berbeda dan dipisahkan dari masyarakat; yaitu tanpa merasakan gerak, getaran dan gairah yang timbul di dalam masyarakat……kita tidak dapat membuat sejarah politik tanpa gairah ini.

Perlu adanya reinkarnasi kemanusiaan. Mengapa? Sebab kemanusiaan kita sudah tak utuh lagi, kita tidak lagi memanusiakan manusia tetapi kita menuhankan diri sendiri dan kelompok dan tega membiarkan manusia lain berada dalam kubangan kenistaan.

Seorang teman pernah berkata: indikasi meningkatnya perekonomian Papua bukan diukur dari berapa banyak pejabat yang naik pesawat ke Jakarta, atau berapa banyak pejabat yang tinggal di hotel berbintang, tetapi dari berapa banyak babi yang naik pesawat dan tinggal di hotel-hotel mewah.

"Kalau semua orang menganggapku sebagai bajingan, provokator atau bahkan teroris……biarlah sejarah menuliskannya. Aku tak peduli pada penilaian segenap dunia.
Karena Saya Adalah Saya"


JIWA ITU ADA



Filsuf dan Matematikawan Perancis, Rene Descartes berkesimpulan untuk mencari kebenaran sejati harus selalu dimulai dengan cara meragukan apa saja; meragukan yang dikatakan gurunya, meragukan kepercayaan, bahkan meragukan eksistensi dirinya sendiri. Pokoknya, meragukan segala-galanya. Maka dari itulah muncul Proposisi: “Ketika aku berpikir, maka aku ada” –Cogito Ergo Sum.

secara pribadi, kaka Revo tidak sepaham dengan pandangan Descartes. Cobalah anda renungkan, bisakah anda memulai suatu usaha dengan penuh keraguan. Siapapun juga tidak akan mau melakukan investasi entah dalam bentuk apapun juga apabila ia meragukan akan hasilnya.

Manusia bisa menciptakan kapal terbang, bahkan sampai bisa meraih bulan, bukannya diawali dengan keraguan melainkan berdasarkan kepercayaan akan keberhasilannya. Begitu juga Martin Luther King Jr, ia memulai gerakannya dimana ia percaya dan yakin bisa mewujukan impiannya: “I Have A Dream!”. Tanpa adanya kepercayaan ini, tidak mungkin ia akan bisa berhasil.

Pandangan tersebut di atas sesuai dengan kredo dari Anselmus. Uskup Agung Canterbury (1033 – 1109) dimana ia menyatakan: “Saya percaya agar dapat mengerti - Credo ut intelligum” (Believe than understand). Melalui pernyataan ia ingin menganjurkan bagi mereka yang ingin mencari kebenaran (baca Allah) harus diawali dengan beriman dahulu, jadi bukanlah sebaliknya seperti Decrates. Percaya itu menjadi kunci utama, maka seluruh kepercayaan itu akan membangun seluruh pengertian yang sejati.

Tapi rasanya sukar untuk bisa percaya akan keberadaanNya Allah yang tidak pernah menampakan diri-Nya. Bahkan di tahap awal Masa Aufklärung (Masa Pencerahan) Immanuel Kant sendiri pernah menyatakan, bahwa Allah tidak memiliki tempat dalam lingkungan rasio. Walaupun demikian ia mengakui adalah suatu hal yang tidak mungkin bagi Allah sehingga bisa masuk dalam kategori rasio kita. Sebab pada saat dimana Dia "membatasi" diri masuk kategori terbatas, atribut ke-TAK-TERBATAS-an-Nya otomatis terlucuti alias ke-illahi-an-Nya terlukai. Jadi jelas ini tidak mungkin, bagaimana rasio manusia yang terbatas bisa mengenal Allah yang tak terbatas.

Seorang ahli bedah bisa mengetahui semua bagian otak manusia, tetapi hingga kapanpun juga ia tidak akan pernah bisa mengetahui impian pasiennya. Bisakah Anda percaya, bahwa walaupun otak sudah mati, kenyataannya pikiran orang itu masih tetap bisa berjalan terus? Bahkan hal ini telah dibuktikan secara sains oleh Dr Levi-Montalcini pemenang hadiah Nobel yang bekerja di EBRI (European Brain Research Institute) – Roma. Ia pernah melakukan sebuah studi prospektif dimana ia mewawancarai lebih dari seratus orang yang pernah mengalami mati suri (Pengalaman Dekat-Ajal – Near Death Experience).

Jelas seorang yang sudah benar-benar dinyatakan mati klinis, seharusnya tidak bisa melihat, mendengar ataupun berpikir apapun juga, karena otaknya sudah mati secara klinis. Orang baru dinyatakan mati klinis; apabila jantungnya berhenti, gelombang otak EEG-nya menjadi datar total. Batang otak dan belahan kiri-kanan korteks serebral menjadi tidak responsif, lalu suhu tubuh turun menjadi dingin 16 C yang biasanya sekitar 36,6 C.

Namum 18% dari sang pasien yang diwawancarai melaporkan, bahwa kenyatannya mereka masih bisa mengingat dengan baik mengenai hal-hal apa saja yang mereka lihat dan dengar selama mereka mati klinis. Dan pernyataan mereka itu benar semua. Dari sinilah terbuktikan, bahwa manusia itu memiliki jiwa yang tidak pernah bisa dijelaskan secara rasio maupun sains. 

Entah !!

Site search

    Categories

    Unordered List

    More Text