Selamat Datang Diblog Orang Pinggiran

Translate

About Me

Pengikut

Search

Label

Senin, 19 November 2012

Sajak Rindu Orang Pinggiran


AKU DAN RINDU

Aku mendayung rindu dalam lautan airmata.
Perahu gabus membawa rinduku,
gemuruh dalam debur lagu.
Lagu ombak terbawa arus, laguku juga.
Lagu sendu senjakala.

Andai perahu gabusku belum merobek
cakrawala.
Aku ingin menepi.
Ingin kujual saja rinduku 
pada penjual pinang di tepi labuan
Biarlah menjadi noda dalam warnanya
Ingin kuberikan saja rinduku 
pada anak-anak pesisir.
Biarlah menjadi bola dan tersepak jauh kaki-kakinya.

INGIN KUTERBANGKAN RINDUKU

Ingin kuterbangkan rinduku
Sebab bumi tak lagi punya ruang untuknya
Sebab laut telah penuh sampah cinta
Sebab jiwa tak lagi kuasa menanggungnya.
dan alam sadar pun tak mampu menampungnya

biarlah rinduku terbawa dalam dunia maya..

RINDUKU KEBINGUNGAN

# Part 1
mendulang angin di ufuk senja
berharap bonggah dalam sepoi
secarik bias di riak malam
hening, senyap menyapu ubun

tengada daku pada awan
yang hampir mengkerutkan jidat
gundah gulana menyerang batin
hening, senyap menyapu ubun..
#Part 2
lenting demi lenting jemari menyapu dawai
merujuk pada sebuah tangga nada
menuai sebuah alunan puisi
yang menerawang di langit senja
terpenjara hasrat dalam kecewa.
rinduku kebingungan

#Part 3
Sudah satu malam rinduku terbang
Bergumul dengan awan
Bergumul dengan hujan
Tak tau jalan pulang
Rinduku kebingungan,, :-)
mencari tempat peraduan.. 




Tekad Baru: Hidup yang Polos-Polos Saja

Oleh Dahlan Iskan
Menteri Negara BUMN

Saya tidak menyangka persoalan seperti utang negara, impor garam, dan sulitnya swasembada gula sudah menjadi bisik-bisik tetangga di desa. Padahal, desa ini berada di lereng Gunung Ciremai nun di Kabupaten Kuningan, Jabar. Saya beruntung Jumat malam lalu bisa bermalam di Desa Bunigeulis dan berdialog dengan ratusan penduduk setempat.

Mengapa penduduk desa sampai gelisah dan pusing memikirkan utang negara? Bahkan impor garam? Ternyata ada virus yang menjalar cepat: virus informasi setengah matang. Mereka hanya tahu sepotong tentang utang negara: jumlahnya yang meningkat.
Saya minta seorang peserta dialog untuk berdiri. Saya ajukan pertanyaan padanya: baik mana, Anda punya utang

Minggu, 18 November 2012

SAJAK ORANG GILA


By Saparadi Djoko Damong

I
aku bukan orang gila, saudara
tapi anak-anak kecil mengejek
dan orang-orang tertawa

ketika kukatakan kepada mereka: aku temanmu
beberapa anak berlari ketakutan
yang lain tiba melempari batu


II
aku menangis di bawah trembesi
di atas dahan kudengar seekor burung bernyanyi
anak-anak berkata: lucu benar orang gila itu
hari muput menangis tersedu-sedu
orang-orang yang lewat di jalan
berkata pelan: orang itu sudah jadi gila
sebab terlalu berat menapsir makna dunia


III
sekarang kususuri saja sepanjang jalan raya
sambil bernyanyi : aku bukan orang gila
lewat pintu serta lewat jendela
nampak orang-orang menggelengkan kepala mereka:
kasihan orang yang dulu terlampau sabar itu
roda berputar, dan ia jadi begitu


IV
kupukul tong sampah dan tiang listrik
kunyanyikan lagu-lagu tentang lapar yang menarik
kalau hari ini aku tak makan lagi
jadi genap sudah berpuasa dalam tiga hari


Tapi pasar audah sepi, sayang sekali
tak ada lagi yang memberikan nasi
Kemana aku mesti pergi, ke mana lagi


V
Orang itu sudah lama gila, kata mereka
Tapi hari ini begitu pucat nampaknya
Apa kiranya yang telah terjadi padanya
Akan kukatakan panda mereka: aku tidak gila!
Aku Orang lapar, saudara


VI
Kudengar berkata seorang ibu:
Jangan kalian ganggu orang gila itu, anakku
Nanti kalian semua. diburu
Orang kota semua telah mengada—ada, aduhai
Menuduhku seorang yang sudah gila
Aku toh cuma menaangis tanpa alasan
Tertawa-tawa sepanjang jalan
Dan lewat jandela, tergeleng kepala mereka:
Kurus Benar sejak dia jadi gila

Sabtu, 17 November 2012



Pada kenyataannya, icon program kesejahteraan yang menjadi jargon masing-masing daerah, belum maksimal dijalankan secara totalitas. Sebagian kalangan menganggap hal itu baik walau masih dalam janji yang perlu diedit. Seperti yang telah dikampanyekan para pemimpin daerah negeri ini, misalnya di sejumlah daerah dengan icon program yang teramat sangat baik, daerah tersebut masih di landa keterpurukan baik itu ekonomi maupun social.

Kita dapat melihatnya dengan jelas ada Provinsi Bangka Belitung dengan program pemberdayaan Perikanan, Provinsi DIY dengan icon Falsafah Hamemayu Hayuning Bawana mengandung makna sebagai kewajiban melindungi, memelihara, serta membina keselamatan dunia dan lebih mementingkan berkarya untuk masyarakat di bidang Ilmu pengetahuan dan teknologi, Provinsi Riau dengan program Padat Karya bagi Desa-desa miskin, Provinsi Sulsel dengan program Pendidikan dan kesehatan gratis, Provinsi Jawa Barat dengan pembangunan dari sector kewilayahan, Provinsi NTB dengan program Pengembangan Bumi Pijar ( Sapi, Jagung dan Rumput laut ) serta Papua dengan Program Respek (Rencana Strategi Pembangunan Kampung ) dan masih banyak provinsi yang memiliki mimpi besar untuk mensejahterakan rakyatnya. Apakah jargon-jargon tersebut membawa rakyat pada harapan yang baik, ataukah hal itu sebagai pelengkap gap mengenai yang kaya semakin kaya dengan korupsi sedang yang miskin tetap mengambil jatah keterpurukan.

Sejak pemekaran provinsi yang diawali pada 12 oktober 1999 oleh provinsi Maluku Utara dan di ikuti daerah lainnya di penjuru wilayah negeri ini, dan hingga sekarang dengan jumlah provinsi sebanyak 33 provinsi dan total jumlah penduduk + 234,2 juta jiwa, terkesan kita masih merayap mengurusi kesejahteraan rakyat, hal itu dikarenakan demokrasi belum di maknai satu sebagai keutuhan yang kokoh. Pada kenyataannya demokrasi itu sendiri masih berlabel tanda petik, bukan lagi rahasia umum bagi peguasa yang menganggap demokrasi sebagai sarana membangun kesejahteraan rakyat, namun tak jarang penguasa yang mentasbihkan demokrasi sebagai sarana membangun hegemoni kekuasaan dengan program mengumpulkan kekayaan pribadi. Sudah saatnya kita mengkampanyekan terwujudnya masyarakat cerdas yang dapat melihat dengan benar, apa itu demokrasi. Harapan kita semua sebagai pemilik tanah tanah ini, momentum demokrasi yang sebentar lagi di gelar khususnya di provinsi papua akan meniupkan lambaian kecerahan bahwa demokrasi belum usai karena sebuah keyakinan telah membisikkan kita semua akan lahirnya pemimpin baru papua yang jujur dan bertanggungjawab.

Universary #1

Senin pagi tepatnya pukul 09.00 WIT, handponeku berbunyi. Dengan mata yang masih setengah tertutup saya merogoh handphoneku yang tersembunyi di balik bantal. Halooo, dengan siapa?? sapa ku.
selamat pagi kaka, dengan Fransiskus kaka.
Gimana rencana ketemu dengan Ibu Kansiana, jadi tidak..?
o iyaa,, jadi jadi..kita ketemu di kantor ya..
ok, di tunggu ya ka".

saya pun bergegas dari tempat tidur dan menuju kamar mandi. Pukul 11.00 waktu Papua, kami bertemu di kantor Dinas Pengembangan INFOKOM Provinsi. 30 menit menunggu,  kami pun bertemu dengan Ibu Kansiana dan percakapan pun dimulai. kedatangan kami hanya untuk meminta bantuan dari dinas PTIK untuk mebiayai keberangkatan Fransiskus ke jakarta mewakili komunitas IT Papua dalam acara Internet Goverment Forum  yang di selenggarakan oleh Kemen KOMINFO. kurang lebih 15 menit pertemuan itu, mendapat tanggapan yang positif alias kami dibantu. Kami pun keluar dari ruangan Ibu kadis dengan wajah riang.

Rencana baru pun tersusun pada saat meninggalkan kantor DPTIK Provinsi. dengan motor buntut milik Koordinator Relawan-TIK, kami pun melaju membelah jalan di bawa terik mentari yang panasnya mengeringkan tenggorokan. Kami pun bersepakat untuk rehat sejenak di skyland. Skayland adalah tempat nongkrong masyarakat jayapura disiang hari dengan suguhan es kelapa dan pemandangan pulau dan laut yang indah. yah, pilihan tepat untuk menghilangkan dahaga. setelah meneguk es kelapa, sambil menunjukan scedul kegiatan, Fransiskus pun mulai membuka percakapan terkait hal-hal yang akan di sampaikan pada saat kegiatan nantinya. Ada tiga poin penting hasil percakapan kami; kondisi kultur masyarakat papua dalam menghadapi pengembangan IT, Pengembangan SDM Papua di bidang IT dan Pemanfaatan IT.

adzan Ashar telah di kumandangkan. menunjukan waktu telah menunjukan pukul 16.15 waktu Papua. kami pun bergegas meninggalkan Skayland menuju Abepura.
dalam perjalanan, fransiskus memulai lagi percakapan;
kaka, hari ini ulang tahun bloger cendrawasih yang pertama. za harap kaka bisa hadir dalam acara syukurannya. saya pun merespon dengan satu kata, siap.
dalam hati saya, ngapain saya hadir, ngumpul bareng anak2 bloger tidak pernah. Parahnya lagi, saya masih awam dengan penggunaan bloger,,,hmm.. Namun semua pikiran itu sirna ketika melihat semangat mereka untuk belajar dan berkarya demi pengembangan sumber daya manusia Papua di bidang IT.

semangat untuk tetap belajar dan berkarya demi pengembangan diri dan untuk kemajuan Tanah Papua,  tampak jelas pada saat kami semua berkumpul di rumah adik Sumo yang juga berulang tahun pada hari itu (29 Oktober 2012). walaupun hanya berjumlah 11 orang, tapi tidak mengurangi semangat dan komitment mereka untuk tetap belajar demi kemajuan Papua. hal ini pun di sampaikan oleh ketua bloger Cenderawasih,  Fransiskus Xaverius Kobepa saat menyampaikan sambutan. harapannya, komunitas ini akan melahirkan putra/ putri papua yang berkompeten dan mampu bersaing di kancah nasional maupun internasional.
 
Tanah yang kekayaan alamnya melimpah ruah. Hutan, gunung, laut dan danau merupakan Anugrah dari sang Pencipta kepada mereka. Namun, kekayaan alam tanah ini, tidak menggambarkan kesejahteraan masyarakatnya. sungguh sangat disayangkan. hingga saat ini, Papua menjadi perhatian nasional dan internasional. oleh karena itu, suka tidak suka, mau tidak mau, kita sudah harus menyiapkan diri sekarang untuk menghadapi perkembangan teknologi yang sangat pesat. jika tidak, kita akan tertindas dan di jajah, sambung kaka Syaifudin M. Songyanan, S. Kom selaku pembina Bloger dalam sambutannya.

semangat untuk belajar dan berkarya dari merekalah yang memotivasi saya untuk belajar hal yang baru. yah, saya harus bisa buat blogger. saya pun bergegas dengan rekan-rekan menju sekretariat blogger.
tanpa basa-basi, saya langsung meminta adik Aldo untuk membimbing saya dalam membuat blog. dalam beberapa jam, saya pun bisa membuat blog hingga memposting tulisan ini. sungguh sesuatu yang luar biasa. hal yang tidak pernah saya suka bisa saya lakukan. Puji Tuhan.
ternyata, tidak ada yang tidak mungkin dan tidak ada kata terlambat untuk belajar ketika kita mau melepaskan ego kita untuk bersungguh-sungguh melakukannya, karena yakin dan percaya,  Tuhan pasti memberikan jalan.

OTSUS TAK SAMA DENGAN UANG

Habelino Seradora Sawaki,  SH
 Oleh: Habelino Seradora Sawaki, SH 


 *Mu'saad: Banyak Subtansi Otsus Belum Dilaksanakan

 Kabar Indonesia – Gerakan Mahasiswa Papua Indonesia (GMPI) memandang bahwa Otsus Papua yang pelaksanaannya telah memasuki 8 tahun, masih relevan untuk dijadikan sebagai solusi dalam penyelesaian sejumlah masalah krusial di Papua. Ketua Dewan Pembina GMPI Dr. H. Mohammad A. Musa'ad, M.Si mengungkapkan, setiap tahun pada 21 November yang merupakan tanggal pengesahan UU Otsus Papua, harus dijadikan momentum untuk melakukan retrospeksi dan prospeksi terhadap pelaksanaan kebijakan Otsus Papua. Terkait hal itu, setiap 21 November Musa’ad yang ikut berperan dalam penggagasan dan pencetusan Otsus Papua selalu melakukan kegiatan diskusi, dialog dan curah pendapat guna menghasilkan kajian kritis atas perjalanan Otsus Papua dari tahun ketahun. Mencermati dinamika social politik di Papua, memasuki 8 tahun pelaksanaan kebijakan Otsus, Musa’ad, sesuai kompetensi yang dimilikinya menyampaikan beberapa hasil penelitian dan kajian yang perlu dipahami dan disikapi semua komponen bangsa, di antaranya pertama, dari segi perspektif idiil normatif Otsus masih relevan menjadi solusi dalam penyelesaian masalah di Papua. Hanya saja dalam perspektif factual emperik kondisinya justru mencemaskan. "Yang terjadi di lapangan banyak subtansi yang terdapat dalam UU Otsus belum mampu dilaksanakan secara konsisten dan konsekuen. 

Banyak pihak terutama penyelenggara Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/ Kota sampai saat ini belum memahami secara konprehensif filosofi dan subtansi UU. Ironisnya, image Otsus masih dipahami sebatas uang dan belum pada subtansi yang sesungguhnya," ujar Mu'saad. Dikatakan, perbedaan persepsi dan pemahaman, rendahnya komitmen serta kebijakan yang keliru (overlapping) merupakan bukti pembenaran atas ketidak konsistenan dan konsekuennya pelaksanaan materi muatan yang diamanatkan dalam UU Otsus. Kendati pelaksanaan kebijakan Otsus belum efektif (kacaubalau), Musa’ad merasa perlu memberikan apresiasi terhadap segala upaya yang dilakukan berbagai pihak dalam mendorong pelaksanaan Otsus. Hanya saja, perlu diingatkan bahwa upaya tersebut harus dilakukan secara simultan dan komprehensif, bukan parsial (sepotong-potong) serta memperhatikan nilai dasar, prinsip dasar serta materi muatan Otsus secara konsisten. Hal itu perlu dilakukan agar tidak terjadi pembiasan yang mengarah pada kontra produktif terhadap upaya-upaya guna mewujudkan efektivitas pelaksanaan Otsus Papua. 

Tujuh nilai dasar yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan Otsus adalah: Pertama, pemberdayaan orang asli Papua, demokrasi dalam kedewasaan, supremasihukum, etika moral, perlindungan/ penegakan HAM, penghargaan terhadap kemajemukan dan kesamaan hak sebagai warga negara. Sedangkan prinsip-prinsip yang tidak boleh diabaikan dalam pelaksanaan kebijakan Otsus adalah, proteksi terhadap orang asli Papua dalam batas waktu tertentu, kebijakan keberpihakan, pemberdayaan, bersifat universial dan adanya accountabilitas publik. "Jadi Otsus ini berlaku untuk semua orang Papua, hanya saja perlu adanya kebijakan-kebijakan khusus bagi orang asli Papua dalam bentuk proteksi, keberpihakan dan pemberdayaan," ujarnya. Kedua, GMPI memberikan apresiasi atas pembahasan sejumlah Raperdasi dan Raperdasus oleh DPRP dan Pemprov, termasuk yang sudah ditetapkan. Namun begitu, GMPI menyayangkan karena sebagian besar Perdasi tersebut ternyata bukan merupakan amanat Otsus, bahkan terdapat Perdasi danPerdasus bertentangan dengan filosofi dan subtansi Otsus Papua. Misalnya, UU Otsus yang mengamanatkan 11 Perdasus dan 17 Perdasi sebagai peraturan pelaksanaan dan penyusunannya harus dibuat dalam skala prioritas tertentu. Sebab, terdapat penyusunan Perdasus dan Perdasi tertentu menjadi landasan bagi penyusunan Perdasus dan Perdasi yang lain. Ketiga, mengenai munculnya wacana parpol lokal, dijelaskan bahwa dalam UU Otsus Papua tidak dikenal Parpol lokal, namun penduduk Provinsi Papua dapat membentuk Parpol. Pembentukan dan keikutsertaanya dalam Pemilu berdasarkan peraturan perundang-perundangan yakni UU Parpol dan UU Pemilu. Karena itu, pembentukan Parpol local hanya dapat dilakukan jika tercantum dalam UU Parpol dan UU Pemilu dan atau revisi UU Otsus Papua. 

Mengenai kebijakan affirmatif terhadap orang Papua, bagi Mu'saad hal itu merupakan suatu strategi yang cerdas dalam mendorong akselerasi pembangunan SDM Papua, hanya kebijakan ini harus dilakukan dengan hati-hati serta memperhatikan prinsip dasar kebijakan tersebut. Hal ini dimaksudkan agar nantinya penerapan kebijakan itu tidak mengarah pada tindakan diskriminasi dan atau pelanggaran HAM. Berkaitan dengan maraknya aspirasi masyarakat menginginkan pemekaran daerah atau pembentukan daerah otonom baru provinsi atau kabupaten, GMPI memandang bahwa hal itu merupakan trend yang terus mengalami penguatan. Karena itu dibutuhkan kreativitas Pemda untuk mendesain suatu strategi penataan daerah di Provinsi Papua dalam waktu 20 atau 25 tahun kedepan, dengan memperhatikan berbagai aspek, yakni proses, format, keserasian, kesatuan budaya, sumberdaya ekonomi dan prospek pengembangan. "Evaluasi Otsus yang telah dilakukan 2 kali oleh Pemprov dengan Uncen tahun 2007 dan Pemerintah Pusat melalui Depdagri dengan kemitraan untuk kerjasama pembaharuan pemerintah 2008 sebagian besar masih difokuskan pada evaluasi terhadap pengunaan dana Otsus belum pada kebijakan yang seharusnya ditujukan pada Pemerintah Pusat maupun Provinsi sesuai kewenangan dan kewajiban masing-masing dalam melaksanaan Otsus. 

Sementara itu, Ketua Bidang Internal Pengurus Besar GMPI, Hugo Al. Karubaba mengajak seluruh komponen bangsa di Papua untuk bersama-sama membangun tanah Papua dalam konteks NKRI melalui kebijakan Otsus. Sebab, sesungguhnya orang Papua sendiri yang mempermalukan dirinya sendiri dimana disaat dana Otsus dimanfaatkan, rakyat Papua ada yang bersikap menolak Otsus, bahkan ada yang menuding Otsus. Padahal rakyat Papua atau para pejabat di Papua baru mengalami perubahan hidupnya di Tanah Papua setelah ada Otsus. "Makanya orang-orang yang mengatakan seperti ini sesungguhnya sangat berdosa, karena menipu dirinya sendiri dan kepadaTuhan. Padahal para penyelenggara Otsus ini diberikan amanah dari rakyat untuk mengemban misi dengan harapan agar kehidupan hari ini harus lebih baik dari hari kemarin," pungkas Hugo yang juga KetuaUmum Senat Mahasiswa Fakultas Ekonomi Uncen. Hanya saja yang terjadi selama ini adalah ketidakpastian. Harus disadari membangun Negara atau daerah adalah sistem bukan ego.Yang menjadikan sistem itu berdaya guna untuk rakyat adalah, ketika sistem itu menjadi tertulis. Namun yang terjadi selama Otsus berjalan, tidak ada satu sistem pun yang tertulis. UU Otsus hanya bisa dilaksanakan jika subtansi dalam UU itu yakni bagian yang memerintahkan adanya Perdasi dan Perdasus harus dilaksanakan. Tapi, jika Perdasi dan Perdasusnya saja belum ada, apa yang mau dilaksanakan. Bicara Otsus itu gagal atau tidak memang belum berjalan.Yang berjalan selama ini hanya uangnya saja, sementara produk-produk lain sebagai pelaksanaan Otsus belum ada. Karena itu, untuk mengatasi permasalahan tersebut perlunya diadakan dialog bersama untuk merevitalisasi dan memperkuat kembali pelaksanaan Otsus baik menyangkut sistemnya, peraturannya maupun berbagai aspek lainnya yang berkaitan dengan pelaksanaan kebijakan Otsus itus endiri. (*)

Jumat, 09 November 2012

Keset Kusut Karya Si Buta


Karya mereka apik, halus dan mulus, cacat fisik tak mengurangi semangat tetapi mereka masih membutuhkan uluran Modal.


Hari sudah menjelang sore pada Selasa 3 Juli 2012, merah saga sudah muncul di ufuk barat pertanda hari akan menjelang malam, Daerah polimak kelurahan Ardipura tampak tiga orang cacat dengan penuh semangat menenteng barang dagangannya menuju tempat jualan, cukup untuk empat jam duduk di waktu malam menjaga pembeli. Dagangan dijual bukan ditempat pada umumnya seperti pasar melainkan di emperan toko atau tepatnya di pintu masuk mall dan beberapa Toko besar di Kota Jayapura. Mereka adalah para  tunanetra yang membuat kerajinan tangan perlengkapan rumah tangga seperti keset, Sula dan Sapu lidi.
Rumah tinggal sekaligus tempat membuat kerajinan tangan terlihat tidak tertata rapi, disudut-sudut ruangan terlihat beberapa tumpuk sapu lidi dan sulak. Rumah itu bukan milik sendiri melainkan milik seorang yang biasa mereka panggil Opa . tiga buah rumah berukuran cukup dan bertingkat dengan beberapa ruang kamar dengan kondisi yang serupa itu dihuni sejumlah penyandang cacat yang sengaja di kumpulkan oleh lelaki pengusaha itu, dia dianggap sebagai orang paling berjasa dalam hidup mereka yang cacat fisik.
Dari hasil bincang - bincang, Pak Human yang biasa dipanggil Opa adalah pemilik yayasan Humania, dia pengusaha pemilik toko kelontongan di hamadi. Yayasan itu tidak terlihat seperti sebuah yayasan pada umumnya karena setiap orang didalamnya mengurusi kehidupan diri sendiri mulai dari makan, minum dan kebutuhan lainnya. “Kita disini lumayan banyak orang, semua jumlahnya ada 20 kepala keluarga tetapi 3 keluarga sudah kembali ke biak, semuanya urus keperluan rumah tangga masing-masing, yaa.. kalau tidak berusaha kita tidak akan dapat uang, kita bersyukur pada Tuhan, Opa masih melihat kita, dia kasi rumah tinggal tidak ada sewa rumah, kita hanya bayar listrik setiap bulan” kata mama Yuliana Sapioper yang akunya cacat buta karena terkena penyakit cacar sewaktu berusia muda.
Diruang berukuran kecil itu tampak bersih tidak seperti tahun-tahun sebelumnya yang banyak tersedia tumpukan bahan baku dan banyak karya yang dihasilkan para tunanetra itu tetapi saat ini mereka hanya memproduksi semampu mereka, alasan mereka sederhana karena tidak tersedianya bahan baku kerajinan. Bahan baku pembuatan keset berasal dari sabut kelapa tua yang biasanya di dapatkan dari petani kelapa di koya Distrik Muara Tami, harga beli per truk seharga Rp.600 ribu sedangkan untuk pembuatan sula atau pembersih debu bahan baku berasal dari tali raffia yang harus di beli dari toko agen penjual tali raffia.
Ulet dan lincah dengan kondisi mata yang buta mereka terus merajut bahan baku menjadi karya-karya keperluan rumah tangga yang menghasilkan nilai ekonomi, pikiran mereka hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari tanpa memikirkan dunia usaha apalagi marketing penjualan para penyandang cacat ini terus berkarya menghasilkan karya demi karya, beberapa tahun belakangan ketika bahan baku tak lagi tersedia dan tanpa ada bantuan dari siapapun mereka harus picah otak untuk menghasilkan barang dagangan agar bisa memenuhi kebutuhan keluarga. “ dulunya kami sama-sama bikin keset, sula, dan sapu lidi, itu karena Opa yang biasa belikan bahan baku, sekarang ini kita smua tau Opa lagi sibuk hingga belum punya waktu membelikan bahan baku, padahal sebenarnya usaha ini cukup menguntungkan, bayangkan saja kalau sabut kelapa satu trek itu bisa jadi 50 sampai 60 keset,  sedangkan satu orang bisa buat 10 sampai 12 keset jadi, 1 keset harga jualnya macam-macam tergantung besar kecil dan kualitasnya. Keset kecil kita jual 50 ribu sedangkan yang ukurannya sebesar daun pintu itu dijual 80 – 100 ribu, ada juga keset yang berbulu halus itu dijual seharga 150 ribu. Jelas David Womsiwor.
Belakangan ini mama paulina dan teman-teman tunanetranya tetap berjualan keset, sulak dan sapu lidi karena dagangan itu satu-satunya pekerjaan yang digeluti, keterbatasan fisik tidak membuat mereka patah arang untuk mencari nafkah. Barang dagangan tidak lagi dibuat sendiri kecuali sulak karena bahan bakunya dapat di beli di toko. Mama paulina harus berhitung matematis mengenai keuntungan yang didapatnya karena dagangan yang terjual harus disisihkan untuk keperluan makan minum dan modal pembelian barang.“ bahan baku tidak lagi ada, jadi keset dan sapu lidi kita beli di pasar untuk dijual kembali, barang kalau laku kita bagi dua untuk keperluan dan modal beli keset lagi.” Tak ada peluh kesah dengan kondisi tersebut para ojek langganan telah menunggu di depan halaman kecil kediamannya untuk mengantarkan mereka ke tempat-tempat berjualan begitu pula saat pulang, ongkos 40 ribu telah di siapkan untuk biaya bolak – balik. “semuanya harus pake uang, uang tidak lihat ko buta atau tidak, kami senang karena ojek disini siap antar jemput.” Kata mereka tersenyum.
Sewaktu berjualan tidak ada istilah menawarkan barang walau terkadang banyak pembeli yang menawar barang dagangan, ada pula pembeli yang hanya prihatin dengan kondisi cacat mereka sehingga tak tanggung-tanggung harga ratusan ribu diberikan pembeli untuk nilai seikat sapu lidi atau selembar keset kaki “ banyak penjual dan pembeli yang baik, ini sudah campur tangan Tuhan karena harga barang yang kita beli biasa dikasi turun harganya, sama juga kalau lagi menjual, pembeli kadang tidak minta uang kembali kalau beli keset pake uang besar…” ungkap melianus kapissa yang biasa nongkrong berjualan di galael jayapura.
Ditengah usaha mereka, mama Paulina, bapak David, Melianus dan para tunanetra lainnya masih merindukan kerajinan karya sendiri, bahan baku menjadi kendala ditengah keterbatasan usaha mereka, bahan baku pula yang memberikan penghasilan lebih, karena dengan ketersediaan bahan baku semua penyandang cacat dapat bekerja” iya, kalau ada bahan baku semuanya kerja, kadang ada pesanan dari sekolah untuk bikin keset dan sapu, baru mereka ambil banyak, sa masih ingat waktu itu gereja nomensen kasi bantuan tali raffia, kita semua bikin sulak, hasilnya lumayan semuanya dapat uang” Harapan mereka para penyandang cacat saat ini belum sirna, mereka masih menunggu sedikit bantuan bahan baku dari para penderma untuk di jadikan karya – karya yang bernilai.

Kamis, 08 November 2012


Ismail Beppa Ladopurab
Hajatan demokrasi di daerah bagaikan memancarkan signal Genderang perang, ajakan politik bergaya silaturrahmi dan sebagainya telah diperdengarkan, sambutan serta dukungan rakyat terus mengalir tetapi muara oligarki semakin kental mengerogoti. Mereka menganggap hal ini adalah sebuah gaya kepemimpinan modern, tetapi ada pula yang menganggapnya sebagai perahu kleptokrasi yang menawarkan kekaraman politik.
Dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini, kita masih diperhadapkan pada realitas keberagaman. Ya, keberagaman baik itu selisih maupun silang pendapat tentunya kita melihatnya sebagai kreatifitas bentuk karya, Karena dari situlah kita dibesarkan untuk mendedikasikan segenap kemapuan serta potensi yang kita miliki.
Pada momentum demokrasi reformasi yang telah berjalan kurang lebih 12 tahun setelah lengsernya orde baru, rakyat memilih pemimpin berdasarkan hati nuraninya secara langsung yang dianggap dapat memberikan kehidupan yang lebih baik. Pemimpin yang dipilih tentunya adalah pemimpin yang benar-benar mengenal dan dikenal sebagai top leader yang mampu menyegarkan serta dapat mengayomi melalui program – program pemberdayaan yang menyentuh pada sendi individu masyarakat.
Kedudukan dan peranan pemimpin telah menunjukkan eksistensi lihai untuk sikap menyatakan membangun segenap masyarakat. Kita sadar bahwa sebagai pemimpin pemerintahan yang mengayomi, melindungi dan melayani masyarakat, maupun   dalam memimpin  organisasi  pemerintah, pemimpin juga harus mampu membawa tatanan kearah yang lebih baik.  Dalam  memimpin  organisasi  pemerintahan, pembangunan  dan pembinaakemasyarakatan,  serta dalam menghadapi  konflik, gejolak da permasalaha pemerintahan,   pemimpin sewajarnya melihat hal itu sebagai tantangan yang harus direspon dan diantisipasi, sekaligus merupakan ujian terhadap kapabilitas dan kompetensi kepemimpinan nya.
Di era reformasi khususnya provinsi papua, peranan demokrasi memberi angin segar mengenai cara serta gaya para pemimpin tanah ini, strategi kepemimpinan yang di implementasikan dalam setiap program pemberdayaan seharusnya mencerminkan kepemimpinan dalam lingkup pemerintahan ideal yang bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Ada hal yang dianggap baik tetapi ada pula cara serta gaya yang di lihat merupakan satu bentuk diskriminatif. Banyak contoh konkrit sebagai gambaran kita bersama bagaimana system demokrasi di papua masih tumpang tindih dan jauh dari hingar binger kesejahteraan. Pertanyaan selalu muncul dan kenyataan terus terungkap, betapa saat ini kita dirundung sugesti politik yang benar-benar  telah ternodai, jauh dari sebuah harapan untuk terpatri pada ukiran kenyataan yang lebih jelas bagi pemberdayaan serta kesejahteraan, seperti tertibnya penggunaan anggaran, keberadaan dan pengimplementasian Otsus yang tak pernah rampung dan masih banyak lagi soal-soal yang tak terjawab. Mungkinkah ini akibat kepentingan politik yang berkiblat pada asas kepentingan duit. Seyogyanya ada harapan bagi masyarakat papua bahwa demokrasi pilgub bukanlah sebuah proses tuli dan buta, jangan lagi berpura-pura untuk tidak mendengarkan ataupun tak melihat permainan para pemimpin negeri ini. Kita bersama meyakini pada momentum esok hari bukanlah momentum pemilihan sekian banyak perahu bocor untuk digunakan sebagai alat penyebrangan menuju kesejahteraan secara komprehensif. Kita berharap dapat menjadi masyarakat cerdas untuk menciptakan sebuah peluang dengan harapan papua yang baru dan terpuji.
Dalam kajian kasat mata dengan konteks kedaerahan secara nasional, sesungguhnya kita pun dapat mengambil pelajaran dari banyaknya pengalaman para pemimpin negeri ini. Kita harus mengakui bahwa asas demokrasi yang telah diperjuangkan selama ini tidak mudah untuk dipertahankan, demokrasi mulai dari aceh sampai papua masih menyisakan banyak sengketa politik, hal ini terus memberi dampak pada lemahnya kesejahteraan social dan keadilan ekonomi di masing-masing daerah, segelintir orang yang mengatasnamakan regulator demokrasi pun terkesan menyerah pada system demokrasi itu sendiri, padahal mereka terlahir dan hadir dari rahim reformasi penuh independensi, idealnya kita semua mengerti bahwa kondisi saat ini belum sepenuhnya memulihkan pemerataan dalam konteks keberagaman pada setiap porsi kesejahteraan social maupun ekonomi. 

Bersambuuuuung...........

SARINGAN TIGA KALI

M i h r a m  

Kedukaan bisa datang dari ucapan yang tidak direncanakan, atau telinga yang lupa menutup diri.Saya sering mengalami ini. Berbincang dengan rekan-rekan, saling melempar canda lalu dari saling cerita itu, duka bisa diam-diam menyelinap, ketersinggungan pun muncul tiba-tiba dan luka datang tanpa dipanggil.
Suatupagi, seorang pria mendatangi Sokrates, dan diaberkata, "Tahukah Anda apa yang baru saja saya dengar mengenai salah seorang teman Anda?
"Tunggu sebentar," jawab Socrates. " Sebelum memberitahukan saya sesuatu, saya ingin Anda melewati sebuah ujian kecil. Ujian tersebut dinamakan saringan tiga kali." "Saringantiga kali?" tanya pria tersebut. "Betul," lanjut Socrates." Sebelum Anda mengatakan kepada saya mengenai teman saya, mungkin merupakan hal yang bagus bagi kita untuk menyediakan waktu sejenak dan menyaring apa  yang akan Anda katakan.Itulah kenapa saya sebut sebagai saringan tiga kali. "Saringan yang pertama adalah `kebenaran`.Sudah pastikah bahwa apa yang anda akan katakan kepada saya adalah kepastian kebenaran?" "Tidak," kata pria tersebut, "Sesungguhnya saya baru saja mendengarnya dan ingin memberitahukannya kepada Anda". "Baiklah," kata Socrates."Jadi Anda sungguh tidak tahu apakah hal itu benar atau tidak Hmm...sekarang mari kita coba saringan kedua yaitu `kebaikan`. Apakah yang akan Anda katakan kepada saya mengenai teman saya adalah sesuatu yang baik?" "Tidak, sebaliknya, mengenai hal yang buruk".
"Jadi," lanjut Socrates, "Anda ingin mengatakan kepada saya sesuatu yang buruk mengenai dia, tetapi Anda tidak yakin kalau itu benar.  hmmm... Baiklah Anda mungkin masih bisa lulus ujian selanjutnya, yaitu `kegunaan`.Apakah yang Anda ingin beritahukan kepada saya tentang teman sayatersebut akan berguna buat saya?" "Tidak, sungguh tidak," jawab pria tersebut.
"Kalau begitu," simpul Socrates, "Jika apa yang Anda ingin beritahukan kepada saya... tidak benar, tidak juga baik, bahkan tidak berguna untuk saya, kenapa ingin menceritakan kepadasaya?" 
Hmm..mari kita heran….

Sebatang Lisong Untuk Mas Willy

E.S. I TT O

Menghisap sebatang lisong, tetapi kita tidak lagi bisa melihat Indonesia Raya dan tiada mampu lagi mendengar suara dari 250 juta rakyat; sementara para cukong, dan bukan 2-3 orang lagi, terus mengangkang berak di atas kepala mereka. Mas Willy, ini Lisong yang berbeda tetapi dalam kemuraman yang sama. Anak-anak SLA masih terus mengobel klentit ibu gurunya. Lulusan SLA semakin banyak yang tidak sanggup melanjutkan pendidikan hingga perguruan tinggi. Sementara ilmu yang mereka dapatkan tidak kunjung mampu memecahkan persoalan kehidupan. Kita masih terus membeli rumus-rumus asing tanpa pernah bisa merumuskan keadaan dengan cara kita sendiri. Inilah gambaran nyata dari persoalan serupa. Atas nama demokrasi, hak azasi bisa dikurangi. Yang penting sekarang bukanlah, apakah pembangunan berjalan sebagaimana rencananya tetapi apakah demokrasi sudah bisa meniru tingkah polah Paman Sam sana. Maksud baik semakin dicurigai, Mas Willy. Dan bila maksud baik itu terlaksana, orang akan bertanya; saudara bekerja untuk siapa dan keuntungan macam apa yang saudara terima. Inilah yang lama dan baru di jagad kehidupan Indonesia Raya, sama, serupa; hanya saja kita menghisap lisong yang berbeda.

Tentara-tentara berwajah jelek telah digantikan polisi-polisi berperut gendut. Tarifnya sama hanya penagihnya yang berbeda. Opsus telah berganti pengacara haus kasus. Kerjanya sama, menisbikan kebenaran sehingga tanda tanya berubah menjadi nominal angka. Cukong-cukong tidak lagi dari Amerika, Cina dan Jepang tetapi seluruh dunia dan manusia Indonesia yang mampu mengeruk apa saja dengan cara-cara buas. Dan tentu saja Mas Willy, semua itu tidak menjadi persoalan sebab para penyair semakin sibuk dengan anggur dan rembulan. Kesenian sudah pasti terlepas dari derita lingkungan. Televisi sudah membeli semuanya. Donor asing, tentu atas nama penghargaan seni, telah membeli setiap kata yang keluar dari mulut bisu. Kata-kata telah menjadi transaksi buta; perdagangan sampah yang menjadi lazim karena setiap pengucap kata butuh nasi bungkus di onggokan sampah kata-kata yang semakin meninggi. Ah Mas Willy, sekarang kau tidak lagi bisa menyumpah. Tiada lagi jeri bagi pengkhianat kata yang bisa kau maki. Tiba-tiba saja kehidupan jadi membosankan. Jenis pekerjaan semakin luas beraneka rupa tetapi tujuannya menyempit. Yang terhormat di bumi Indonesia ini, hanyalah bila kau bisa mengumpulkan uang banyak dengan cara apa saja sepanjang tidak merugikan dirimu sendiri. Inilah yang lama dan baru di jagad kehidupan Indonesia Raya, sama, serupa; hanya saja kita menghisap lisong yang berbeda.

Tidak akan ada lagi pamplet masa darurat. Sebab semuanya akan baik-baik saja, bila kau bisa makan enak, berak lancar dan bila itu tidak cukup; beratus kelab malam menunggumu, cukup pesan 2-3 pil ekstasi yang bebas dijual bandar, sisakan satu pil untuk perempuan yang putus harapan dan jeri mu selesai sudah; kau bebas bergoyang hingga bercinta di kamar mandi. Esok hari, makanmu mungkin kurang enak tetapi yang pasti berak mu semakin lancar. Mas Willy, di masa darurat ini pamplet-pamplet bebas beredar tetapi sayang tiada minat untuk memasangnya. Ini bukan masa darurat, jelas, ini bukan masa darurat; kami baik-baik saja, jauh lebih baik pada saat “meneken” pil ekstasi. Kami pemuda, jelas kami harapan bangsa. Dan bangsa ini akan lebih berharap kepada para pemuda yang bisa ngineks, ngiprit, nyimeng, nyabu dan jago nge*** sambil merekamnya dalam format 3gp. Ah, bukankah kami ini terlihat hebat mas Willy? Ayo di alam sana katakan, “Kalian adalah generasi yang hebat, oke punya. Kalian adalah pewaris Sukarno-Hatta. Kalian bukan lagi tiga, tetapi berjuta menguak takdir. Nasib kalian tidak akan seperti Paman Doblang!”. Tetapi tidak Mas Willy, aku tahu, jauh di alam sana yang jaraknya berlapis ajal, kau akan menangis untuk kami, “Kalian adalah generasi yang sakau akan teladan. Tanpa bimbingan menghadapi ujian kehidupan. Kalian menghadapi satu jalan panjang, tanpa pilihan, tanpa pepohonan, tanpa dangau persinggahan; tanpa ada bayangan ujungnya”. Inilah kami mas Willy, berjujur kata ku berungkap, generasi yang hilang ditelan oleh angan tidak berkesudahan. Kami telah mengganti Lisong dengan Bong. Pagi harinya kami masih berkata, ayo serahkan masa depan bangsa pada kami. Sungguh kurang ajar! 

Ada yang datang, ada yang pergi. Tetapi di negeri ini, yang datang tidak kunjung mampu menggantikan mereka yang pergi. Masa orang-orang besar telah lewat, Mas Willy mungkin jadi penutupnya. Kehilangan itu pasti, tetapi meneruskan semangat dan jiwamu itu yang semakin tidak pasti. Pada hari-hari dimana hujan merontokkan tekad besar dalam jiwa yang kering berlapis kulit legam; kami menari dalam sepi. Kesenian memang mulai terlepas dari derita lingkungan. Sebab kata tidak lagi berharga bila dia tidak bisa dijual menjadi nada yang enak di telinga. Pemikiran pun semakin terpisah dari masalah kehidupan. Sebab pikiran hebat adalah pikiran yang bisa menciptakan transaksi, mengedepankan angka-angka, menjadikan politik ilmu statistik dan tentu saja memelihara penderitaan si melarat supaya sistem bisa berjalan sebagaimana mestinya. Bila kini engkau telah pergi Mas Willy, kepada siapakah kami mengadu; siapakah lagi yang bisa menghardik meja kekuasaan dan papan tulis yang macet? Inilah yang lama dan baru di jagad kehidupan Indonesia Raya, sama, serupa; hanya saja kita menghisap lisong yang berbeda. Dan inilah Lisong terakhir!

Mas Willy, dalam hari-hari berkabung yang semakin memanjang ini, ijinkan aku mem-bakar-kan lisong terakhir ini untukmu. Dalam aroma tembakau yang merekah ini aku bersumpah untuk terus memelihara amarah, bersekutu dengan yang lemah, terus mencurigai kekuasaan dan memajang kembali “kata-kata” dalam pigura kemanusiaan. Sebab kata-kata akan kembali memperoleh kehormatannya bila kita semua percaya bahwa; kesadaran adalah matahari, kesabaran adalah bumi, keberanian menjadi cakrawala dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata. 

Selamat jalan Mas Willy.


07 Agustus 2009 jam 18:39

Senin, 05 November 2012

Ibu Kota

Oleh: Karmin Lasuliha, S.Kom 

Di penghujung tahun berharap nyata Menagih janji tapi masih serapah Pikirin kami sama melihat makna Berharap kesejahteraan yang tak jauh berbeda Wahai Tuan dan nyonya... Sesungguhnya kami masih sengsara Pagi hari selalu butuh belanja Berusaha sendiri menguatkan raga Dengan hidup yang tak bertahan lama Semoga ada bantuan tanpa kau bertanya Pukul empat kurang lima Pagi buta memulai usaha Mengais hasil apa adanya Berharap belas dari yang kaya Memikul beban menjual jasa Itulah kerja kami selamanya Karena tak ada lagi peluang usaha OO Tuhan…maha maha kaya Bantulah kami yang tak kaya Tak mau dengan Janji mereka penuh nista Setiap ungkapan kalimat hanya serapah Karena kami dan mereka tak pernah se-nyawa Ibu kota…. Setahun lalu pemimpinnya menabur rasa Tanpa ada ketakutan kata yang kelak ternoda Ibu kota papua…..kau kecil untuk ukuran Jakarta Jadi jangan engkau bergurau kata Dikala hujan banjir di pasar terus terasa Tidak seiring dengan gaya dagangan bahasa Ibu Kota…. semua pembangunan menebarkan sengsara Membagi jatah hanya untuk keluarga…. Beras miskin masih mahal harganya Ohhh ibu kota… Beginikah wajah pemimpinnya? Semuanya memantulkan kepalsuan Soal sampah masih issue utama Di parit dan kali tumpukannya merajalela Aroma nyir untuk tuan dan nyonya merasakannya Pemimpin kaya, ibu kota…. Adakah yang lain selainnya

Sabtu, 03 November 2012

KORUPSI DALAM ERA DEMOKRASI

                                                                                    

Santi Permatasari
 “Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, mereka ialah orang-orang yang beruntung” (QS. Ali Imran : 104). Ini merupakan salah satu ayat dalam kitab suci Al-Qur’an yang menunjukkan tentang kecenderungan manusia kepada nilai-nilai kebenaran (hanif) dan berlaku di semua aspek kehidupan.

Korupsi dan Demokrasi adalah dua hal yang berbeda, tentu saja dalam pengertian dan prakteknya. Namun terkadang Korupsi = Demokrasi dan Demokrasi = Korupsi. Miris memang bila diperhatikan. Padahal bila dicermati dengan seksama, tingginya korupsi mengakibatkan rendahnya nilai demokrasi. Inilah yang sedang terjadi di negara kita. Bahkan berlaku di semua aspek kehidupan dan lebih anehnya lagi kasus ini seolah-olah merupakan suatu pembiaran.

Sebut saja pesta demokrasi. Yah, namanya juga pesta, pasti banyaklah dana yang mesti dikeluarkan. Baik pemerintah maupun para kandidat. Nah, disini nih godaan korupsi begitu besar. Mengapa tidak? Ada beberapa kandidat yang haus akan jabatan, walau sadar akan ketidak mampuan dirinya, tetap memaksakan diri untuk bisa memenangkan pertarungan, jalan pintas pun dipilih. Di sisi lain, ada beberapa pengusaha nakal yang mensponsori kandidat tersebut dengan catatan bila menang pemilihan timbal baliknya kemudahan penerimaan pengusulan dan pencairan dana proyek. Di sisi lainnya lagi ada pihak pemerintah yang tidak bertanggung jawab memakan/memakai dana yang mendukung jalannya pesta rakyat tersebut, yang akhirnya menimbulkan pembengkakan dana pemilihan.

Banyak yang bertanya-tanya kenapa hal ini bisa terjadi, atau kah karena korupsi bukan berasal dari bahasa Indonesia sehingga para pelakunya tak sedikitpun yang merasa malu and jerah???

Mari kita tinjau!!!!
Korupsi berasal dari bahasa Latin corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutar balik, menyogok. Secara harfiah, korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politikus/politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka. Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi.

Korupsi dalam arti luas, juga telah merambah ke dalam tubuh himpunan tercinta kita, HmI. Contoh nyata yang dapat dilihat adalah pada momen konggres PB HMI. Para kandidat tak tanggung-tanggung mengeluarkan dana, bukan bunyi ratusan ribu rupiah lagi melainkan jutaan bahkan milyaran rupiah. Entah dari mana asal uangnya, namun yang pasti praktek gratifikasi berjalan lancar. Bodohnya lagi karena rupiah nilai-nilai yang tertuang dalam AD-ART HMI tak dihiraukan lagi yang dipilih bukan berdasarkan hati nurani melainkan hitungan rupiah di genggaman tangan. Mengapa justru bertentangan dengan arti ayat suci di atas?? Apakah agama, didikan atau moral yang salah???

Dalam tatanan Negara kita, untuk mencari, merebut dan mempertahankan kekuasaan (politik) tentu tidak bisa dipisahkan dengan politik uang. Apalagi sistem pemilu/pemilukada yang langsung dengan jumlah pemilih yang banyak. Artinya, bahwa semakin banyak pemilih tentunya ongkos politik dan money politiknya berbanding lurus. Untuk memperoleh kekuasaan, orang rela membayar berapapun biayanya. Tindakan ini harus diakui sangat bertentangan dengan ide dasar demokrasi yaitu sebuah pilihan yang mandiri dan rasionalitas. Bila pilihan masyarakat terkontaminasi karena pemberian uang dan materi lainnya, maka ide demokratisasi pemilu akan gagal, dan yang dikhawatirkan adalah akan terjadi korupsi yang massif yang dilakukan oleh pasangan calon terpilih juga oleh masyarakat pemilihnya. Padahal jelas undang-undang yang diatur dalam UU Nomor 32 tahun 2004 tentang  Pemerintah Daerah, Pasal 82 ayat (1) dan pasal 117 ayat (2). Oleh karena itu aktivitas transaksi pembelian suara dalam proses pemilihan harus kita hindari dan supremasi hukum harus ditegakkan.

Korupsi menunjukkan tantangan serius terhadap pembangunan. Di dalam dunia politik, korupsi mempersulit demokrasi dan tata pemerintahan yang baik (good governance) dengan cara menghancurkan proses formal. Korupsi di pemilihan umum dan di badan legislatif mengurangi akuntabilitas dan perwakilan di pembentukan kebijaksanaan; korupsi di sistem pengadilan menghentikan ketertiban hukum; dan korupsi di pemerintahan publik menghasilkan ketidak-seimbangan dalam pelayanan masyarakat. Secara umum, korupsi mengkikis kemampuan institusi dari pemerintah, karena pengabaian prosedur, penyedotan sumber daya, dan pejabat diangkat atau dinaikan jabatan bukan karena prestasi. Pada saat yang bersamaan, korupsi mempersulit legitimasi pemerintahan dan nilai demokrasi seperti kepercayaan dan toleransi.

Sebagai generasi intelektual, mari kita kawal bersama gerakan demokratisasi setiap momen pemilihan dengan menghindari gerakan money politic, serangan fajar sampai serangan dhuha, intimidasi terhadap pemilih, pendahuluan start kampanye dan kampanye negative. Semakin  mandiri dan rasionalitas pemilih dalam proses pemilihan, maka akan menjadikan salah satu tolak ukur /indikator suksesnya pemilihan yang pada akhirnya demokrasi pun terbilang sukses.

Jumat, 02 November 2012

Oleh: Karmin Zehan, S. Kom
 
Semangat sumpah pemuda mulai semarak di seantero negeri, hari peringatan yang setiap tahun dianggap sebagai  penanggalan wacana untuk momentum munculnya pemimpin muda potensial dari generasi melalui opini media.

Sudah saatnya kaum muda memimpin bangsa adalah kutipan kaum muda atas lemahnya kaum tua bersahaja yang dinggap tak bijaksana. Belum tentu benar, perdebatan kaum muda dan tua terus terjadi tanpa ada tanda kesepahaman fikir dan gerak, yang tua mempertahankan sedangkan yang muda dianggap ingin merebut kekuasaan.

Pada saat kepemimpinan mulai menjenuhkan, kaum tua dituduh hanya menghela nafas pasrah tanpa batas arah yang jelas. Sementara yang muda dianggap tak memiliki karya kreatif jauh dari reaktif. Negara ini butuh sinergitas kerjasama dan terus terang arah gerak seharusnya berawal dari para pemuda yang lebih energik.
Ahir – ahir menjelang pengambilan sumpah, ikrar yang kesekian kalinya setelah sang gajah mada mengikrarkan sumpah misteri banyak muncul pertanyaan tentang sosok manakah yang ideal membangun bangsa ini, kebinekaan serta pluralitas mungkin saja semakin luas di terjemahkan, sesungguhnya kita butuh sosok muda yang penuh karya, sosok yang memiliki netralitas politik, berjiwa luhur dan memiliki keterampilan teknis.

Sosok yang yakin dapat menjadi opsi terbaik pilihan bersama untuk kekuasaan bangsa bermartabat, mereka cekatan dan trengginas dan kemudian dapat memimpin bangsa ini.
Satu-satunya sosok potensial penggerak semua itu hanyalah generasi muda yang tidak berbusung dada atau mengangkat kepala sebagai tanda keangkuhan, sebuah generasi terorganisir milik semua yang terdiri dari para orang muda tetapi beretika pada yang tua, disitulah letak kebijaksanaan kaum muda…ya menghargai yang tua…
Diselah arah perjalanan yang hiruk dengan tatanan politik, ekonomi serta social syarat intrik, keberagaman satu bisa menjadi jalan terbaik mengeliminir perpecahan agar tak jauh membias. Ada jas kuning, jas merah, hijau sampai yang hitam merupakan heterogensi ragamnya kaum muda.

Keberanian dengan terobosan ide segar dengan fisik yang kekar menjadi satu ciri serta karakter yang harus di akomodir dalam membangun bangsa ini, merekalah muda mudi perkasa berdedikasi untuk ketuhan bangsa ini, sumpah mereka bukanlah sumpah serapah yang mudah ternodai serta hilang dikikis modernitas berbau pelecehan, kesatuan dan persatuan selalu mereka pupuk dalam wadah penuh keberagaman.

Legalitas tempat berhimpun para pemuda cerdas dengan irama khas telah di prakarsai, organisasi pemuda yang membahana dari pusat sampai di pelosok distrik itu di hadirkan, pemimpinnya adalah pilihan terbaik para kaum muda sendiri, yang dapat menjadi icon pemersatu dalam sumpah para pemuda. Di waktu kini, sampai pada hari peringatan sumpah pemuda, sebuah cita seharusnya menjadi karya sejalan dengan idealita zaman. Jangan kotori kerja keras mereka yang terdahulu karena ribuan benih makna telah ditebarkan sebagai kabar gembira bersatunya para pemuda….kita sadar bahwa hanya pemuda yang cerdas yang mampu merealisasikan misteri Poetoesan Congres Pemoeda-Pemoeda Indonesia Tahun 1954’ di Medan. SALAM PEMUDA dan TUHAN SAYANGI.

Kaffah Net, 26 Okt 2012



 

Site search

    Categories

    Unordered List

    More Text