Selamat Datang Diblog Orang Pinggiran

Translate

About Me

Pengikut

Search

Label

Senin, 03 Desember 2012

Ketika Sastra Posmodern Bicara Politik

Judul :Sastra dan Politik: Membaca Karya-Karya Seno Gumira Ajidarma 
Penulis : Andy Fuller 
Penerbit : INSIST Press 
Waktu terbit : Desember 2011
Jumlah halaman: 128 Dimensi (L x P) : 14 x 21 cm 



 “Sebut saja ini fiksi kalau kamu mau, atau nonfiksi, terserah kamu. Ini hanya sebuah novel metropolitan” (Seno Gumira Ajidarma, 1996) Seno Gumira Ajidarma (SGA) adalah salah satu dari penulis fiksi Indonesia yang memiliki kepopuleran di Indonesia. Beberapa karya SGA mampu menyedot perhatian pembacanya. Daya imajinasi SGA dalam menuliskan karya fiksinya cukup menonjol jika dijejerkan dengan penulis ternama Indonesia lainnya, seperti Danarto, Pramoedya, dan Wijil Thukul. Tidak heran jika karya SGA selalu menjadi salah satu fokus menarik dalam penelitian sastra di Indonesia. Andy Fuller, seorang peneliti sastra Indonesia, kebudayaan urban, dan kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia, menjadikan karya fiksi SGA sebagai bahan penelitian tesisnya di The University of Melbourne (2004). Penelitian Fuller ini berusaha mengungkap hubungan metanarasi karya fiksi SGA dengan keadaan politik saat karya tersebut diciptakan dalam kajian sastra postmodern. Penelitian itulah yang kemudian dicetak dan diterbitkan dengan judul Sastra dan Politik: Membaca Karya-karya Seno Gumira Ajidarma. Buku ini menarasikan hasil penelitian Andy Fuller tentang hubungan kasual kemunculan karya fiksi SGA dengan keadaan politik saat karya tersebut diciptakan dalam lima bab. Pada bagian awal buku ini Fuller memberikan penjelasan tentang teori posmodernisme yang menjadi salah satu aliran dalam ranah ilmu filsafat. Istilah “posmodern” sudah ada sebelum 1960-an dan kemudian berkembang hingga tahun 1990-an. Posmodernitas ditandai oleh adanya inkoherensi massal, diskontinuitas umum, dan ketidakpaduan diri. Pada masa inilah para teoretikus, penulis, dan seniman mulai meragukan ambisi-ambisi modernitas. Konsep pemikiran posmodern mendapat tempat khusus dalam kajian keilmuan terutama di bidang seni dan literatur. Posmodern bermain dengan aturan-aturan dan kesepakatan-kesepakatannya sendiri. Muncul banyak peluang untuk menilai suatu hal dalam pikirannya tanpa harus terikat dengan pemikiran formal yang universal. Salah satu media yang memungkinkan adanya keraguan-keraguan dalam konsep posmodern tercipta adalah sastra. Sastra memiliki konsep kebenaran yang bersifat imajiner sehingga tidak dapat diganggu gugat. Kebenaran imajiner itulah yang memfasilitasi pemikiran posmodernisme untuk melanggengkan dirinya. Kata kunci yang lazim digunakan dalam sastra posmodern adalah “dekonstruksi”. Tujuan dari dekonstruksi ini adalah menemukan wilayah abu-abu, mencari apa yang ada di antara dua kategori yang terpolarisasi. Sebuah acuan pusat dalam pandangan dunia modern tidak dipegang teguh sebaliknya harus disingkap. Tidak ada makna pasti dalam tiap kata, teks, atau penanda sehingga keberadaan suatu makna selalu dikonstruksi secara baru. Posmodernisme menggambarkan sebuah dunia tanpa batasan-batasan. Tidak ada ketetapan dalam konsep posmodernisme. Di satu sisi sikap menentang modernisme muncul dalam konsep posmodernisme namun di sisi lain terdapat kecenderungan-kecenderungan ke arah modernisme. Konsep pemikiran posmodernisme inilah yang ditemukan oleh Fuller pada karya fiksi SGA. Karya fiksi SGA menunjukkan adanya kontradiksi dan ketidakteguhan terhadap perkembangan budaya popular di masanya yang ditunjukkan melalui tokoh-tokoh cerita, plot, dan metanarasi. Semua itu untuk melakukan subversi terhadap pemikiran alot yang merajalela ketika karya tersebut diciptakan. Karya SGA muncul pada saat masa pemerintahan Orde Baru (Orba). Krishna Sen dan David Hill menggambarkan Orba sebagai pemerintahan otoriter yang menguasai Indonesia sejak 1966. Sepanjang masa Orba, Soeharto berusaha menjaga kestabilan kondisi sosial-politik agar kondusif untuk pembangunan ekonomi. Gagasan pembangunan nasional digunakan sebagai pembenaran untuk menjaga legitimasi kekuasaan. Sebagai akibatnya, terjadi pelarangan ketat atas kritik terhadap tokoh-tokoh politik dan situasi sosial di Indonesia. Pers dituntut “bebas tapi bertanggung jawab” sehingga terjadi praktek self-cencorship. Dengan kondisi seperti itulah, sastra dipilih sebagai alternatif positif dan efektif untuk melakukan tindakan subversif terhadap konsep pemikiran Orba. Maka dari itu muncul beragam karya fiksi menakjubkan dari para pengarang Indonesia temasuk SGA. Dengan gaya penulisan semi-jurnalistik, SGA bertutur dalam karya fiksinya. SGA menciptakan tokoh cerita yang sama dalam karya fiksinya yang berbeda. Hal itu tampak pada kumpulan cerpen “Dunia Sukab” SGA yang memiliki tokoh Sukab di tiap cerpennya dengan karakter yang berbeda. Tokoh lain yang sering muncul adalah Alina yang berperan sebagai kekasih, pacar, bahkan istri Sukab. Penggunaan nama tokoh yang ajeg dengan tipikal cerita yang berbeda menjadi ciri khas menarik sekaligus memunculkan pemaknaan nilai dalam karya fiksi SGA. Selain itu, SGA juga menggunakan tokoh-tokoh pewayangan sebagai bagian dari intertekstualitas cerita dan catatan-catatan kaki yang tidak penting untuk melakukan pengecohan dalam karyanya. SGA memainkan karyanya dengan konsep cerita mikronarasi yang cenderung mengangkat kisah-kisah cerita dalam kehidupan masyarakat kalangan menengah ke bawah, kaum-kaum pinggiran yang terabaikan dalam bentuk humor satir. Seno mampu mengejek pemerintahan Soeharto secara terbuka tapi tidak menjebaknya dalam aktivitas politik yang membahayakan dirinya. Hal itu terlihat pada cerpen Semangkin (d/h Semakin) dalam kumpulan cerpen Penembak Misterius. Buku ini membahas secara utuh karya fiksi SGA yang diduga memiliki unsur-unsur pemikiran posmodernisme. Penulis menjelaskan hasil penelitiannya dengan jelas dan sederhana. Namun dengan cara sederhananya itulah justru menjadikan pembaca berpikir bahwa konsep posmodernisme itu sederhana. Padahal konsep posmodernisme tidak sesederhana yang disampaikan oleh analisis Fuller. Kontradiksi dan ketidakteguhan posmodernisme fiksi SGA menentang pemikiran modernisme dan budaya populer tapi juga mendukung kontinuitas dua hal itu. Sayangnya Fuller tidak membahasnya dalam penelitiannya. Hasil penelitian sastra posmodernisme pada karya SGA ini menarik sekali untuk dijadikan bacaan di waktu senggang. Buku ini akan membawa pembaca untuk membayangkan masa-masa Orba dan perjuangan masyarakat di masa itu. Selain itu, terdapat penjelasan yang memadai tentang modernisme dan posmodernisme yang dapat menambah aset pengetahuan dan logika berpikir pembaca.

Sumber:  http://www.balairungpress.com/2012/05/ketika-sastra-posmodern-bicara-politik/

Site search

    Categories

    Unordered List

    More Text