Selamat Datang Diblog Orang Pinggiran

Translate

About Me

Pengikut

Search

Label

Rabu, 31 Oktober 2012

JIWA ITU ADA



Filsuf dan Matematikawan Perancis, Rene Descartes berkesimpulan untuk mencari kebenaran sejati harus selalu dimulai dengan cara meragukan apa saja; meragukan yang dikatakan gurunya, meragukan kepercayaan, bahkan meragukan eksistensi dirinya sendiri. Pokoknya, meragukan segala-galanya. Maka dari itulah muncul Proposisi: “Ketika aku berpikir, maka aku ada” –Cogito Ergo Sum.

secara pribadi, kaka Revo tidak sepaham dengan pandangan Descartes. Cobalah anda renungkan, bisakah anda memulai suatu usaha dengan penuh keraguan. Siapapun juga tidak akan mau melakukan investasi entah dalam bentuk apapun juga apabila ia meragukan akan hasilnya.

Manusia bisa menciptakan kapal terbang, bahkan sampai bisa meraih bulan, bukannya diawali dengan keraguan melainkan berdasarkan kepercayaan akan keberhasilannya. Begitu juga Martin Luther King Jr, ia memulai gerakannya dimana ia percaya dan yakin bisa mewujukan impiannya: “I Have A Dream!”. Tanpa adanya kepercayaan ini, tidak mungkin ia akan bisa berhasil.

Pandangan tersebut di atas sesuai dengan kredo dari Anselmus. Uskup Agung Canterbury (1033 – 1109) dimana ia menyatakan: “Saya percaya agar dapat mengerti - Credo ut intelligum” (Believe than understand). Melalui pernyataan ia ingin menganjurkan bagi mereka yang ingin mencari kebenaran (baca Allah) harus diawali dengan beriman dahulu, jadi bukanlah sebaliknya seperti Decrates. Percaya itu menjadi kunci utama, maka seluruh kepercayaan itu akan membangun seluruh pengertian yang sejati.

Tapi rasanya sukar untuk bisa percaya akan keberadaanNya Allah yang tidak pernah menampakan diri-Nya. Bahkan di tahap awal Masa Aufklärung (Masa Pencerahan) Immanuel Kant sendiri pernah menyatakan, bahwa Allah tidak memiliki tempat dalam lingkungan rasio. Walaupun demikian ia mengakui adalah suatu hal yang tidak mungkin bagi Allah sehingga bisa masuk dalam kategori rasio kita. Sebab pada saat dimana Dia "membatasi" diri masuk kategori terbatas, atribut ke-TAK-TERBATAS-an-Nya otomatis terlucuti alias ke-illahi-an-Nya terlukai. Jadi jelas ini tidak mungkin, bagaimana rasio manusia yang terbatas bisa mengenal Allah yang tak terbatas.

Seorang ahli bedah bisa mengetahui semua bagian otak manusia, tetapi hingga kapanpun juga ia tidak akan pernah bisa mengetahui impian pasiennya. Bisakah Anda percaya, bahwa walaupun otak sudah mati, kenyataannya pikiran orang itu masih tetap bisa berjalan terus? Bahkan hal ini telah dibuktikan secara sains oleh Dr Levi-Montalcini pemenang hadiah Nobel yang bekerja di EBRI (European Brain Research Institute) – Roma. Ia pernah melakukan sebuah studi prospektif dimana ia mewawancarai lebih dari seratus orang yang pernah mengalami mati suri (Pengalaman Dekat-Ajal – Near Death Experience).

Jelas seorang yang sudah benar-benar dinyatakan mati klinis, seharusnya tidak bisa melihat, mendengar ataupun berpikir apapun juga, karena otaknya sudah mati secara klinis. Orang baru dinyatakan mati klinis; apabila jantungnya berhenti, gelombang otak EEG-nya menjadi datar total. Batang otak dan belahan kiri-kanan korteks serebral menjadi tidak responsif, lalu suhu tubuh turun menjadi dingin 16 C yang biasanya sekitar 36,6 C.

Namum 18% dari sang pasien yang diwawancarai melaporkan, bahwa kenyatannya mereka masih bisa mengingat dengan baik mengenai hal-hal apa saja yang mereka lihat dan dengar selama mereka mati klinis. Dan pernyataan mereka itu benar semua. Dari sinilah terbuktikan, bahwa manusia itu memiliki jiwa yang tidak pernah bisa dijelaskan secara rasio maupun sains. 

Entah !!

0 komentar:

Posting Komentar

Site search

    Categories

    Unordered List

    More Text